Pengikut

Jumat, 19 Maret 2021

Keadilan Dalam Bisnis

 Nama : Dyfa Chintania S

Kelas : Manajemen A-01

NIM : 01219076

Dosen : Hj. I.G.A. Aju Nitya Dharmani.,SST.,SE.,MM

 


Tugas :

Memberikan Contoh Masalah Keadilan Dalam Bisnis Yang Terselesaikan Aataupun Belum Terselesaikan.

Pengertian adil dan keadilan
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proposi tersebut berarti ketidak adilan.


Keadilan merupakan suatu tindakan atau putusan yang diberikan terhadap suatu hal (baik memenangkan/memberikan dan ataupun menjatuhkan/menolak) sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
adil asal kata nya dari bahasa arab ‘adala, alih bahasa nya adalah lurus. Secara istilah berarti menempatkan sesuatu pada tempat/aturan nya, lawan katanya adalah zalim/aniyaya {meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya}.untuk bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, kita harus tahu aturan-aturan sesuatu itu, tanpa tahu aturan-aturan sesuatu itu bagaimana mungkin seseorang dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya.
istilah ADIL ini di gunakan dalam wilayah hukum, maka akan janggal dan salah kaprah jika kata adil di gunakan bukan pada wilayah hukum.hukum ini bukan cuma pidana dan perdata, tapi juga hukum agama/syariat [hal-hal yg berkaitan dengan ibadah}.
Berbicara tentang keadilan, anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.


Contoh masalah keadilan dalam bisnis :

Masalah Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur

 


Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas yang terjadi sejak 29 Mei 2006 membuat sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur, terpaksa menutup sejarah dengan kisah pilu.

Dampak semburan lumpur Lapindo sangat besar dan meluas. Sebanyak 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo tergenang lumpur panas yang terus bertambah. Lebih dari 25 ribu warga Sidoarjo harus mengungsi, 8.200 orang di antaranya terpaksa dievakuasi karena kampung halamannya tidak bisa ditempati lagi. Tidak kurang dari 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Itu belum termasuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya, termasuk jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Begitu pula dengan ratusan hektare lahan pertanian serta persawahan milik warga, serta ribuan ekor hewan ternak. Sebanyak 30 pabrik yang berada di sekitar area semburan lumpur, dikutip dari buku Antropologi Ekologi (2016) karya Adri Febrianto, terpaksa berhenti beroperasi. Ini berakibat terhadap 1.873 orang yang harus kehilangan pekerjaan mereka di pabrik-pabrik itu.

Lapindo -yang dimiliki Bakrie Group- sebenarnya sepakat membayar ganti rugi sebesar Rp3,8 triliun berdasarkan peta area sebaran lumpur. Hingga saat ini, Lapindo telah menggelontorkan Rp3,03 triliun. Sisanya sebesar Rp827 miliar menggunakan dana talangan dari pemerintah. Hingga Maret 2019, bahwa cicilan yang dibayarkan Lapindo belum mencapai 10 persen dari dana talangan yang telah diberikan pemerintah. Padahal, utang tersebut akan jatuh tempo pada akhir Juni 2019.

 Setelah 15 tahun berlalu, sebagaimana dilaporkan JPNN (28 Mei 2019), masih banyak warga yang belum mendapatkan ganti rugi meskipun sudah berkali-kali mengadu ke pemerintah. Terlebih, ganti-rugi yang dibayarkan hanya untuk materi saja, tidak memperhitungkan kerugian non-materi yang diderita para korban.

Bisa kita lihat, dikasus ini para korban tidak mendapatkan keadilan yang semestinya. Sudah 15 tahun tetapi PT. Lapindo Brantas tidak menyelesaikan tanggung jawabnya untuk ganti rugi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar